Sisingaan Kesenian asli Tanah Sunda


 Kesenian atau tradisi Sisingaan berakar dari usaha masyarakat di Kabupaten Subang dalam membebaskan tekanan terhadap situasi politik di masa penjajahan, tepatnya di tahun 1812 saat wilayah perkebunan Subang dikuasai dan diduduki secara bergantian antara Belanda dan Inggris.

Pada masa itu, bentuk patung singa dalam tradisi Sisingan belumlah sempurna seperti saat ini. Hal itu karena konstruksi kayu yang digunakan masih ringan dari pohon randu dan rangkaian rambut yang terbuat dari daun kaso atau bunga. Kemudian, kerangkanya pun masih ala kadarnya dengan struktur anyaman bambu yang dibalut karung goni.

Sisingaan ini memperlihatkan dua hingga empat boneka singa. Untuk permainannya sendiri pun, Sisingaan dimainkan oleh empat orang sebagai pemandu singa, yakni dua orang anak yang menunggangi singa dan beberapa pemuda bertugas untuk mengiringi jalannya rangkaian kegiatan kesenian Sisingaan, tentunya dengan diiringi alat musik tradisional Sunda. Pertunjukan Sisingaan ini mengitari kampung setempat ataupun jalanan kota.

Adapun alasan dipilihnya singa sebagai simbol dari kesenian Sisingaan ini, yakni karena sebagai bentuk usaha masyarakat Subang dalam menyindir atau mengkritik bangsa Eropa dengan menjadikan simbol kebesaran negaranya sebagai sebuah permainan rakyat.

Dalam pertunjukannya, masyarakat Subang berusaha melimpahkan ekspresi rasa benci lewat simbol atau lambang singa yang dinaiki dan dimainkan oleh anak-anak. Kemudian, para penunggang, yakni anak-anak tersebut menjambak rambut kepala dari singa yang dijunjung oleh bangsa Eropa.

Selain diselenggarakan sebagai bentuk perlawanan, tradisi Sisingaan disebut juga sebagai ‘odong-odong’ oleh beberapa masyarakat Subang. Mereka memanfaatkan odong-odong untuk sarana ritual pertanian.

Kegiatan dan aktivitas yang dilakukan ialah dengan mengagungkan padi dan leluhurnya melalui kekuatan gaib atau supranatural. Ritual odong-odong tersebut berlangsung dengan cara mengarak sebuah benda yang disamai dengan bentuk hewan tertentu.

Seiring berkembangnya zaman, kesenian Sisingan ini beralih menjadi sarana untuk memeriahkan anak-anak yang hendak dikhitan atau disunat agar mereka terhibur. Lalu, anak-anak tersebut diarak mengelilingi kampung atau desa setempat, tepatnya satu hari sebelum dikhitan. Kemudian, mereka dimandikan air kembang yang telah disiapkan oleh dukun rias sebelum akhirnya dijadikan sebagai pengantin sunat.

Hingga akhirnya, kesenian Sisingaan ini diikuti oleh kota lain, seperti Garut, Cirebon, dan Sumedang sebagai kesenian memikul binatang tiruan.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Sisingaan Kesenian asli Tanah Sunda "

Posting Komentar